Senin, 25 April 2011

Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah

Psikologi Pendidikan

a.      Pengertian

Psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut :

·         Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas
·         Pengembangan dan pembaharuan kurikulum
·         Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan
·         Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif
·         Penyenggaraan pendidikan keguruan

Santrock
Psikologi pendidikan adalah cabang psikologi yang mengkhususkan diri pada pemahaman tentang proses belajar dan mengajar dalam lingkungan pendidikan.

Barlow (Syah, 1997 / hal. 12)
Psikologi pendidikan adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu anda melaksanakan tugas-tugas seorang guru dalam proses belajar mengajar secara efektif.

Tardif (Syah, 1997 / hal. 13)
Psikologi pendidikan adalah sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan.

Witherington (Buchori dalam Syah, 1997 / hal. 13)
Psikologi pendidikan adalah studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.

Ensiklopedia amerika
Psikologi pendidikan adalah ilmu yang lebih berprinsip dalam proses pengajaran yang terlibat dengan penemuan-penemuan dan menerapkan prisip-prinsip dan cara untuk meningkatkan keefesien dalam pendidikan.

b.      Psikolog pendidikan


·         Psikolog pendidikan biasa bekerja di lingkungan sekolah, perguruan tinggi dan di lingkungan pendidikan anak, terutama bekerja dengan guru dan orang tua.
·         Psikolog pendidikan juga harus mengerti tentang perkembangan area manajemen kelas dan desain instruksional, pengukuran dan penggunaan gaya dan strategi belajar, penelitian, dan perluasan dari pengembangan dan aplikasi teknologi untuk tujuan instruksional.
·         Psikolog pendidikan kebanyakan bekerja di fakultas-fakultas dalam lingkungan universitas atau institut keguruan atau di lembaga-lembaga penelitian (Balitbang) dan lembaga pendidikan dan latihan (Diklat).


c.       Ruang lingkup, cakupan, dan peranan
Ruang lingkup kajian dari psikologi pendidikan ialah mencakup semua penerapan prinsip-prinsip psikologis dalam proses pendidikan dan pembelajaran peserta didik di kelas di berbagai institusi pendidikan, baik di lembaga pendidikan formal (di lingkungan sekolah), non formal (di lingkungan masyarakat), dan informal (di lingkungan keluarga). Dalam membahas tentang ruang lingkup dari psikologi pendidikan, juga dibahas tentang pusat perhatian dari psikologi pendidikan sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian integral dari psikologi umum.

Ada dua elemen yang menjadi pusat perhatian dalam pendidikan yang juga menjadi pusat perhatian oleh para ahli psikologi pendidikan dan para guru, yaitu peserta didik dan proses belajar.
·         Peserta didik merupakan elemen yang terpentin diantara elemen yang lain (termasuk elemen situasi belaja dan elemen proses belajar). Tanpa kehadiran peserta didik di kelas di suatu lembaga pendidikan tidak mungkin akan ada proses pembelajaran karena peserta didik merupakan objek dari proses pendidikan dan pembelajaran di kelas.
·         Proses pembelajaran sebagai elemen yang menjadi pusat perhatian dari psikologi pendidikan, merupakan elemen penentu keberhasilan proses pendidikan. Melalui proses pembelajaran yang interaktif antara guru dan peserta didik akan terjadi perubahan perilaku kepada peserta didik yang ditandai dengan gejala peserta didik menjadi tahu terhadap materi pelajaran yang dipelajarinya dari tidak tahu pada waktu sebelum mempelajari materi pelajaran tertentu.

Psikologi Sekolah

a.      Pengertian
Psikologi sekolah adalah sebuah cabang dari psikologi pendidikan yang menciptakan situasi mendukung bagi anak didik disekolah dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, kreasi, dan emosi. 

b.      Psikolog sekolah
Psikolog sekolah adalah seorang sarjana di bidang psikologi dan pendidikan yang melayani kebutuhan anak-anak, keluarga, dan semua perangkat sekolah untuk membantu semua siswa mencapai potensi pendidikan yang ada di sekolah.

Psikolog sekolah berperan dalam proses tercapainya tujuan pendidikan di sekolah, seperti :
·        Psikolog sekolah dibutuhkan sebagai pembina atau pelaksana tes untuk mengidentifikasi keperluan pendidikan khusus, pemberian laporan, dasar pikiran, dan saran-saran umum mengenai pendidikan dan managemen kelas.
·        Psikolog sekolah melaksanakan pengukuran dan mengungkapkan informasi pengaruh-pengaruh kehidupan keluarga dan sekolah yang erat kaitannya dengan masalah yang dihadapi anak didik yang ditangani.
·        Psikolog juga memberikan konseling untuk membantu orang lain memahami dan menggunakan hasil diagnosa yang dilakukannya.

c.       Ruang lingkup

Pada dasarnya psikologi sekolah merupakan suatu cabang dari psikologi pendidikan yang mengkhususkan pada sekolah saja. Segala aspek yang berhubungan dengan sekolah merupakan ruang lingkup dan cakupan dari psikologi sekolah. Apapun masalah yang ada disekolah maupun segala hal tentang sekolah akan dibahas dan berhubungan langsung dengan psikologi cabang ini dibantu dengan psikolog pendidikan.


Daftar Pustaka :

Santrock, J.W. 2010. Psikologi Pendidikan edisi kedua.Jakarta: Kencana


Sukadji, Soetarlinah. 2000. Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (L.P.S.P3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Upaya apa saja yang dapat kita lakukan untuk dapat membantu proses pembelajaran serta proses kehidupan sehari-hari mereka yang mengalami gangguan pendengaran ?

Pada dasarnya setiap gangguan memang akan memberikan berbagai dampak negatif bagi fisik maupun psikis seorang individu. Namun tak jarang juga kita dapati banyak anak yang memiliki gangguan namun dia tetap bersemangat disekolahnya bahkan tergolong anak yang cukup cerdas. Gangguan pendengaran misalnya yang bisa saja megakibatkan keterlambatan atau kesulitan proses pembelajaran bagi si penderitanya.


Banyak anak yang memiliki masalah pendengaran akan mendapatkan pengajaran tambahan di luar kelas regulernya karena bisa saja ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung, penderitanya akan sering minta pengulangan penjelasan, bahkan bisa saja mereka memang tidak mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru mereka. Jadi wajarlah jika mereka diberikan penjelasan yang lebih dikarenakan gangguan yang diderita itu.


Jika dilihat dari sudut pandang psikologi pendidikan sendiri, ada beberapa pendekatan yang dapat diberikan untuk anak penderita gangguan pendengaran, yaitu diantaranya adalah :
1.       Pendekatan oral
Pendekatan ini meliputi metode membaca gerak bibir, speech reading, serta menggunakan alat visual untuk membaca.
2.       Pendekatan manual
Pendekatan ini meliputi metode menggunakan bahasa isyarat yaitu sistem gerakan tangan yang melambangkan kata. Bisa juga dengan pengejaan jari yaitu mengeja setiap kata dengan menandakan setiap huruf dari suatu kata.



Biasanya kedua pendekatan ini akan dilakukan dengan bersamaan guna membantu penderitanya sedikit lebih mudah belajar. Namun berkat kemajuan tekhnologi dewasa ini, ditemukan pula beberapa solusi yang cukup dapat mempermudah sang anak penderita gangguan pendengaran itu untuk dapat menjalani proses belajar mengajar dikelas reguler agar kekurangan mereka tak menjadi alasan untuk tidak dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya disekolah reguler, yaitu :
1.       Pemasangan Cochlear dengan prosedur pembedahan. Namun hingga kini, masi banyak pro dan kontra yang ditimbulkan oleh cara yang satu ini.
2.       Diberikan semacam alat di telinga. Tetap dengan prosedur pembedahan apabila perderitanya telah sampai ke tahap disfungsi telinga tingkat menengah namun bukanlah sebuah prosedur permanen.
3.       Sistem hearing aids dan amplifikasi.
4.       Pemberdayaan internet dan telekomunikasi seperti teletypewriter-telephone atau juga radiomail.


Dan bagi kita yang mungkin saja memiliki teman atau sanak saudara yang merupakan salah seorang penderita gangguan pendengaran, diharapkan kita dapat bersikap lebih dewasa, sabar, serta berbicara dengan kecepatan yang sewajarnya, jangan terlalu cepat karena akan membuat mereka kesulitan memahami setiap tutur kata kita , ataupun jangan terlalu lambat karena bisa saja hal ini justru membuat mereka merasa terhina serta pada saat sedang berkomunikasi, usahakan tetap menatap mata atau wajah mereka karena kebanyakan akan mencoba memahami ucapan kita dari gerak bibir yang kita lakukan.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Rabu, 06 April 2011

Fenomena Pendidikan di Indonesia


Nama Kelompok :

Fenomena Pertama

Derita Anak Karena Kurangnya Perhatian Orang Tua 
Kisah pedih seorang anak berusia 14 tahun, sebut saja namanya yang berinisial JU. Pada dasarnya JU memiliki permasalahan keluarga yang cukup rumit. JU berasal dari keluarga yang kurang mampu dan juga broken home. Permasalahan tampak terasa sekali ketika orang tuanya bercerai, JU beserta adiknya tumbuh dengan perhatian yang kurang dari sang ayah. Sedangkan ibu mereka memutuskan menjadi TKW.


Pembahasan : Hal ini dapat kita kaitkan dengan Neglectful Parenting yaitu gaya asuh dimana orang tuanya tidak peduli atau hanya meluangkan sedikit saja waktu untuk si anak. Kurangnya perhatian dari orang tua karena harus bekerja untuk mendapatkan pemasukan ekonomi keluarga lantas membuat JU tertekan. Ini dikarenakan JU yang seharusnya mendapatkan perhatian dari orang tuanya justru malah harus memberikan perhatian kepada adik-adiknya. Tingkahnya menjadi seperti orang yang dianggap ‘gila’ dan sebagian tetangganya juga menganggapnya kesurupan jin dari sekolahnya. Padahal sudah sangat jelas bahwa dia mengalami depresi akibat tekanan kehidupan keluarga yang sedemikian rupa. Dikarenakan kondisi yang memprihatinkan tersebut, JU tidak diperbolehkan masuk sekolah sebelum dirinya pulih seperti kondisi semula.
Dapat kita lihat juga dari teori perkembangan rentang hidup milik Erikson yang berpendapat semakin sukses individu mengatasi krisisnya , semakin sehat pula psikologinya . Di kasus ini, JU ternyata tidak sukses untuk mengatasi krisisnya yaitu kehidupannya yang kurang berkecukupan ditambah dengan tidak adanya perhatian yang didapatkannya dari keluarga khususnya orang tuanya .

Fenomena Kedua

* Sekolah Hanya Sebagai Simbol 'Tempat Penitipan Anak'
Di sekolah, sering sekali kita menemukan berbagai macam karakteristik kepribadian anak yang menimbulkan kesan dan pandangan sendiri di pikiran kita. Dalam kasus ini, seorang guru membicarakan tentang anak yang dicap sebagai anak bandel, tidak tahu aturan, dan bahkan sering menjadi trouble maker di sekolahnya. Setelah diidentifikasi, ternyata sebagian anak memiliki ayah yang otoriter, dan tidak jarang mereka selalu mengeluh kesakitan saat dipukul dan dihukum ayahnya. Atau ada juga anak-anak yang lain memiliki orang tua yang sibuk dan mereka merasa tidak diperhatikan sama sekali oleh orang tuanya. Sehingga kebanyakan anak dari korban kekerasan pola asuh ataupun kesibukan orang tua mengakibatkan perkembangan si anak menjadi hiperaktif. 


Pembahasan : Dalam kasus ini, masalah yang dihadapi anak jelaslah berasal dari lingkungan keluarganya. Orang tua menerapkan pola asuh yang salah kepada anak, yaitu neglectful parenting, yang merupakan gaya asuh dimana orang tua tidak peduli, atau orang tua hanya meluangkan sedikit waktu dengan anaknya, hasilnya adalah anak tidak kompeten secara sosial. Kebanyakan anak-anak yang bermasalah ini juga akibat pola pendidikan yang tidak sama antara ayah dan ibunya. Si ayah cenderung keras dan si ibu terlalu melindungi anaknya dengan menutupi kesalahan-keslahan anaknya. Mereka menganggap bahwa dengan menyekolahkan anak mereka, maka anak akan berkembang dengan sangat baik karena latar belakang sekolah yang menjanjikan. Itulah mengapa sekolah sering dijadikan sebagai tempat penitipan anak. Padahal sebenarnya, lingkungan keluargalah yang pertama kali membentuk kepribadian dan moral anak. Di lingkungan keluarga inilah anak akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang diharapkan dan tentunya membanggakan. Sistem keluarga merupakan konteks belajar yang utama bagi perilaku dan perasaan individu dimana ibu merupakan guru utama yang dapat menginterpretasikan dunia dan masyarakat bagi anak-anak. (Friedman, 1998). Orang tua adalah figur penting yang menemani anak selama masa perkembangannya, terutama seorang ibu.  Sudah sewajarnya apabila seorang ibu lebih sering menemani buah hatinya pada usia pra sekolah. Kehadiran seorang ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak. Seorang ibu yang meniti karir atau bekerja diluar rumah mengakibatkan berkurangnya waktu untuk menemani perkembangan fisik, mental dan psikis anak. Sebenarnya banyak dari ibu yang dapat mengatasi masalah ini dengan lebih banyak berteman dengan anak ketika mereka dirumah ataupun libur kerja.  Menurut Clemes (2001) bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya.  Oleh karena itu, akan lebih baik orang tua memperbaiki hubungan keakraban dengan anak-anak mereka. Menjalin komunikasi dan membangun sebuah kepercayaan yang akan membuat anak merasa nyaman dan diperhatikan (dianggap penting). Selain itu, Pendekatan karakter juga sangat efektif diterapkan oleh guru sebagai orang tua di sekolah, karena pendekatan karakter adalah pendekatan langsung pada pendidikan moral, yakni mengajar murid dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral dan membahayakan orang lain dan diri sendiri. Kesimpulannya, latar belakang pendidikan di lingkungan keluarga sangat mempengaruhi pola perilaku anak tersebut di lingkungan sekolah. Bagaimana pola asuh orang tua, bahkan seberapa besar perhatian orang tua kepada anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak di lingkungan sekolah. 

Fenomena Ketiga

* Banyak Anak yang Putus Sekolah
Lebih dari 1,1 juta anak memilih berhenti belajar di sekolah selama tahun 2007. Artinya, setiap menit ada 4 anak putus sekolah di Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi tingginya angka putus sekolah itu adalah dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Anak kemudian dikondisikan untuk mencari uang dan menambah penghasilan keluarga. "Anak-anak yang belajar di tempat kami kebanyakan putus sekolah karena faktor dorongan orangtua. Orangtua mereka menginginkan agar anaknya membantu menambah penghasilan," kata Direktur Rumah Belajar Cinta Anak Bangsa (RBCAB) Firza Imam Putra, Kamis (17/12/2009).



Pembahasan :Dewasa ini, pendidikan di Indonesia sudah mulai menyesuaikan dengan keadaan keluarga yang kurang mampu. Hal ini dibuktikan dengan pembebasan biaya pembangunan bagi murid SD dan SMP negri. Tapi kenapa masih saja banyak anak yang putus sekolah? Bahkan dari data yang di dapat, pada tahun 2007 setiap 4 menit anak putus sekolah di Indonesia. Alasannya karena keadaan ekonomi keluarga yang menuntut orangtua untuk mendorong anaknya untuk menambah penghasilan keluarga. Fenomena ini mendorong kita untuk berpikir bahwa kebanyakan anak yang putus sekolah berasal dari keluarga yang kurang dalam pendidikan. Jika orangtua mereka adalah orang yang berpendidikan tapi tersendat biaya atau mereka bukan orang yang berpendidikan namun peduli pada pendidikan anaknya maka mereka pasti akan berusaha agar anaknya tetap sekolah.
Jika menyinggung masalah motivasi, kemungkinan besar anak yang putus sekolah dengan kendala ekonomi ini mempunyai motivasi ekstrinsik maupun motivasi instrinsik yang rendah. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Jika motivasi ekstrinsik anak tinggi, maka ia akan tetap sekolah karena dorongan orangtuanya. Tapi karena memang lingkungan keluarga yang kurang mendukung pendidikan anak, maka si anak juga tidak termotivasi untuk tetap sekolah. Motivasi internal adalah motivasi untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri. Jika si anak punya motivasi instrinsik tinggi, maka ia akan tetap sekolah meski orangtuanya menyuruhnya untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi sering kita lihat bahwa keadaan ekonomi yang buruk seringkali berpengaruh buruk terhadap hubungan di keluarga. Contohnya saja jika si anak tidak mematuhi orangtuanya untuk bekerja, maka orangtua akan memarahi anaknya  dan kadang sampai melukai secara fisik maupun psikologis. Jadi meskipun anak tadi punya motivasi instrinsik yang kuat untuk tetap sekolah, dia lama kelamaan juga bisa kehilangan motivasinya karena lingkungan yang tidak mendukung untuk tetap bersekolah.
Pemerintah memang sudah mencanangkan sekolah gratis untuk SD dan SMP negeri. Tapi apakah masalah sudah selesai sampai disitu? Rupanya tidak. Bagaimana dengan buku-buku pelajaran? Ternyata mereka masih terbebani dengan buku yang mahal. Saat ini seperti yang kita lihat, pelajaran anak SD saja sudah banyak, belum lagi bukunya. Apakah bisa anak-anak itu belajar tanpa buku? Hal itu mungkin saja jika guru dapat mengajar secara efektif tanpa terlalu berpatokan kepada buku

Referensi :
Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Prenada Media Group
Lahey, B.B. (2007). Psychology an introduction (Ninth Edition). New York: McGraw Hill


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer