Senin, 28 Oktober 2013

UTS telah tiba !!!

Yeay !!! Ujian Tengah Semester telah menyapa. Hahaha -_- Tidak terasa memang, ternyata sudah setengah semester saya melewati hari-hari ~ Dan sekarang tibalah saatnya UTS untuk menguji pengetahuan saya akan mata kuliah yang saya ambil di semester ini. Termasuk juga mata kuliah yang menurut saya cukup unik. Kenapa unik ?? Jelas karena metode perkuliahan ini yang tidak biasa. Salah satu buktinya ya blog ini. Dan saya senang ~~~~ *yeyeyelalalala* #4L4yModeOn-SKIP-

Alhamdulillah akhirnya ketiga soal UTS sudah saya lewati. Pada dasarnya metode UTS kali ini benar-benar sangat menarik dan membuat saya lebih bersemangat dalam mengerjakan setiap soal yang pengampu berikan. Metode seperti apa ?? Yang jelas metode ujian seperti ini sangat jarang digunakan sehingga memberikan penyegaran tersendiri buat saya. Metodenya full online, maksudnya adalah sistem yang digunakan full menggunakan sarana elektronik. Tepatnya media yang kita kenal dengan email. Jadi, pengampu akan mengirimkan tiga buah soal secara berkala dan interaksi yang dilakukan menggunakan media tersebut. Seru kan ?? Yaiyalah -_______________-

Meskipun saya akui bahwa saya menjawab setiap pertanyaan dengan tempo yang tidak cepat, namun semaksimal mungkin saya berusaha menjawab setiap pertanyaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dan kalau ditelaah kembali, sebenarnya hal ini erat kaitannya dengan salah satu teori mengenai motivasi akademik yaitu komponen nilai tugas dalam model ekspektasi nilai. Terdapat empat komponen yang pada dasarnya memotivasi saya dalam melakukan tugas ini dengan maksimal, yaitu :
1.       Nilai pencapaian, tentunya saya ingin memperoleh nilai yang maksimal pada UTS kali ini dengan semaksimal mungkin untuk menunjang nilai akhir saya pada mata kuliah ini. Dengan mendapatkan nilai yang maksimal, maka harapan saya untuk mendapatkan nilai akhir di mata kuliah Psikologi Belajar akan semakin mudah saya peroleh.
2.       Nilai instrinsik, secara pribadi saya sangat menyukai metode yang digunakan. Sehingga membuat saya semakin bersemangat untuk menjalankan ujian dengan metode yang bisa dianggap tidak biasa ini.
3.      Nilai kemanfaatan, pastilah dengan saya mengerjakan setiap jawaban dengan sebaik mungkin maka nilai saya akan memuaskan dan bermanfaat untuk akhir dari perkuliahan yaitu nilai akhir pada mata kuliah ini.
4.      Dan dari segi biaya, memang harus saya akui bahwa saya tidak dapat cukup maksimal untuk menjawab setiap soal dalam tempo secepat-cepatnya. Disamping karena saya membutuhkan waktu untuk memikirkan jawaban terbaik yang bisa saya berikan, juga dikarenakan adanya beberapa kegiatan lain yang harus saya lakukan sehingga membuat tugas ini pada akhirnya terkirim tidak cepat. 

Selain itu, teori Skinner menurut saya juga dapat secara jelas memaparkan bagaimana proses UTS ini berlangsung. Pemberian reward berupa feedback dan pujian dari pengampu (seperti bagus, cukup baik, dsb) membuat saya semakin terpacu untuk memberikan jawaban selanjutnya dengan lebih baik lagi. Sebaliknya, reinforcement negatif yang diberikan kepada saya apabila tidak sigap dalam memberikan jawaban atau lebih menggunakan 'the power of kepepet' merupakan satu cara yang cukup ampuh untuk membuat saya tidak melakukan hal ini lagi. Karena dengan diingatkan tentang hal tersebut, saya jadi semakin sadar bahwa hal tersebut tidak baik.

Namun secara keseluruhan, saya sangat senang dengan metode seperti ini dan memberikan sensasi dan suasana tersendiri akan ujian tengah semester. UTS yang biasanya disambut dengan rasa deg-degan dan ketakutan yang luar biasa, namun dengan metode seperti ini memberikan saya sedikit ketenangan meskipun tetap harus fokus dan serius. Terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada pengampu mata kuliah ini yaitu Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd atas segala feedback dan reinforcement yang Ibu berikan. Karena semuanya menjadi bahan pembelajaran kepada saya untuk menjadi lebih baik lagi.

Dan pada akhirnya segala usaha saya kali ini berbuah manis. Jujur saya sangat kaget ketika saya melihat rekap nilai yang dipaparkan oleh pengampu. Antara percaya dan tidak, nilainya bahkan melampaui ekspektasi awal saya. Alhasil, UTS ini memberikan banyak energi positif yang membuat saya semakin bersemangat menghadapi UTS semester ini. Dan UTS mata kuliah Psikologi Belajar menjadi awal yang baik bagi saya. Hahahaha J Keep Spirit chingudeul ~ *kolaborasibahasa*




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Senin, 21 Oktober 2013

Pengalaman Mengenai Peran Kultur Terhadap Proses Belajar - Teori Vygotsky

Vygotsky menyatakan bahwa kemampuan kognitif seseorang berasal dari hubungan sosial dan kultur. Baik itu kultur individual maupun hubungan pendidikan dengan perkembangan berperan penting dalam perkembangan kognitif karena memberi dasar untuk menyimpulkan asumsi dasar tentang pembelajaran. Menurut Vygotsky, kultur bukan hanya memberi latar untuk pengembangan kognitif individual. Kultur juga memberi simbol-simbol kultural (perangkat psikologis) dan anak belajar berpikir dengan bentuk penalaran ini.

Paragraf di atas menyadarkan saya bahwa memang kultur yang ada di kehidupan sehari-hari sangat berpengaruh akan perilaku dan proses pembelajaran saya. Seperti beberapa posting saya sebelumnya, kali ini lagi-lagi saya akan memberikan contoh berupa pengalaman saya ketika berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Seperti yang sudah sering saya beritahukan bahwa dulu saya menjalani pendidikan dengan sistem boarding school dimana saya tidak hanya menimba ilmu saja di sekolah tersebut, tapi saya menghabiskan enam dari tujuh hari yang saya miliki setiap minggunya dengan tinggal di asrama. Tentunya dengan latar belakang kehidupan sekolah yang seperti ini, proses pembelajaran sayapun menjadi berbeda dengan siswa yang bersekolah di SMA reguler.

Dengan atau tanpa saya sadari, sedikit banyaknya sistem sekolah yang demikian membuat saya menjadi terbiasa dengan pola hidup dan pola pembelajaran yang disesuaikan dengan kultur tersebut. Di SMA saya, kami dituntut untuk menghabiskan waktu belajar tidak hanya dari pagi hingga siang hari, tetapi pagi hingga malam hari yang dibagi menjadi tiga sesi, yaitu sesi sekolah biasa (seperti sekolah reguler, pagi hingga siang), sesi pengayaan (bimbingan belajar di sore hari namun wajib diikuti seluruh siswa), dan belajar mandiri (belajar bersama kelompok yang sudah dibagikan oleh guru dan dilaksanakan pada malam hari dari pukul 21.00 hingga 23.00). Dengan terbiasanya saya menghabiskan waktu dengan pola belajar yang seperti ini pada akhirnya membuat saya tidak terlalu sulit beradaptasi dengan sistem perkuliahan saat ini di Fakultas Psikologi USU yang bahkan ada jadwal kuliah hingga sore hari atau menghabiskan waktu membuat tugas hingga larut malam. Karena sejak SMA saya sudah terbiasa belajar di kelas atau mengerjakan tugas hingga sore atau malam hari.

Tidak hanya itu, karena saat SMA saya sudah terbiasa melakukan tugas tidak hanya secara individual, tetapi kami juga dibiasakan mengerjakan tugas secara berkelompok, dan juga dikarenakan terbiasa berbagi kehidupan di asrama bersama siswa-siswa lainnya, sehingga tidak terlalu sulit bagi saya beradaptasi dengan sistem perkuliahan yang menuntut kita mampu bekerja dalam kelompok, dan mudah beradaptasi dengan kehidupan berkelompok. Proses pembelajaran seperti itu mudah saya jalani dikarenakan pengaruh kultur yang saya miliki sebelumnya ketika SMA yang mmbantu saya saat menjalani masa-masa perkuliahan. Dengan demikian cukup jelas bahwa memang kultur individu mempengaruhi proses pembelajaran seseorang.

Referensi : Gtedler, Margaret E. (2011). Learning and instruction, teori dan aplikasi. Jakarta: Kencana

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Selasa, 15 Oktober 2013

Mengulas Pengalaman Berdasarkan Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Tugas posting-an ini bisa dikatakan cukup terlambat dari waktu deadline yang seharusnya. Bukannya beralibi, tapi LUPA bisa disebut sebagai alasan yang cukup klise namun mampu menjelaskan kenapa keterlambatan ini terjadi *sigh* Mungkin keenakan liburan (jadi ingat, selamat hari raya idul adha semuanyaaaa ~), jadi kelupaan untuk posting tugas kali ini padahal udah selesai dikerjain -_-

Oke, tanpa banyak basa-basi, langsung ke poin utama dari posting-an kali ini. Apalagi kalau bukan pembahasan teori berdasarkan pengalaman. Dan kali ini tokoh serta teori yang diangkat adalaaaaah ... (backsound: jreng jreng jreng) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Orang-orang yang berkecimbung (bahasanya -__-) di dunia psikologi atau pendidikan pasti tidak asing lagi dengan nama Beliau kan. Iya kan iyaa kannnn ~~~ (maksa K)

Jean Piaget. Nama tersebut mungkin akan sangat melekat dengan teori yang sering dijumpai di dunia pendidikan. Beliau memang terkenal dengan teori perkembangan kognitif di mana teorinya berfokus untuk menemukan asal muasal logika alamiah dan tranformasinya dari satu bentuk penalaran ke penalaran lainnya yang dibangun oleh individu pada berbagai fase perkembangan kognitif.

Terdapat empat faktor esensial yang mempengaruhi transformasi dari satu bentuk penalaran ke bentuk lainnya, yaitu:
1.      Lingkungan
2.      Kematangan
3.      Pengaruh sosial
4.      Suatu proses yang dinamakan ekuilibrasi yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi kecerdasan ketika melakukan transformasi besar

Dalam teorinya Piaget membagi empat periode tahapan perkembangan kognitif. Tahapan ini dibagi berdasarkan usia individu. Tahapan ini tidak sesuai dengan dengan tujuan awal karyanya. Tahap ini merepresentasikan jenis isu-isu logika yang bisa ditangani anak pada fase tertentu dalam perkembangannya. Dalam tahap ini juga Piaget merefleksikan perubahan kesadaran anak tentang proses berpikirnya sendiri. Ia mengidentfikasi tiga peringkat (Pons&Harris, 2001), yaitu :
·         Peringkat pertama, kesadaran praktis yang muncul pada periode sensorimotor
·         Peringkat kedua, kesadaran konseptual diasosiasikan dengan pemikiran operasional konkret
·         Peringkat ketiga, kesadaran reflektif yang penting bagi perkembangan pemikiran operasional formal

Periode Tahapan Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Tahap
Proses Penalaran
Periode Sensori Motor
(Kelahiran – 1 tahun)
Kecerdasan prasimbolik dan praverbal berkaitan dengan perkembangan pola tindakan. Inferensi dimulai ketika bayi mengembangkan relasi antar tindakan.
Periode Praoperasional
(2-3 tahun hingga 7-8 tahun)
Permulaan sebagian pemikiran logis, namun pemikiran dan keputusan anak didasari pada petunjuk perseptual.
Periode Operasional Konkret
(7-8 tahun hingga 12-14 tahun)
Berkembangnya cara berpikir logis berhubungan dengan objek yang konkret. Anak mulai mengembangkan beberapa kemungkinan dalam situasi secara sistematis.
Periode Operasional Formal
(di atas 14 tahun)
Kapabilitas untuk secara logis menangani situasi multifaktor mulai muncul. Penalaran bergerak dari situasi hipotesis ke konkret.


Dulu, pada saat saya baru lahir dan mungkin juga terjadi hampir pada semua bayi, ketika ada yang menyentuh kulit bayi, maka secara refleks bagian tubuh tersebut akan tersentak. Misalnya ibu saya menyentuh tangan saya, maka secara refleks saya akan terbangun dan menggerakkan tangan saya tersebut. Setelah beberapa bulan lahir, ketika saya sudah mampu bergerak dengan lebih leluasa, maka mulailah terbentuk kebiasaan apabila tangan saya disentuh maka dengan refleks tangan saya akan bergerak merespon dan kepala serta mata saya akan mengarah kepada objek yang menyentuh saya. Tahapan inilah yang disebut dengan tahap sensorimotor.

Beranjak ke periode berikutnya yaitu saat memasuki masa-masa di playgroup atau sebelum masuk TK, apabila saya membuat sesuatu yang salah misalnya menumpahkan air secara sengaja ke lantai, lalu saya dimarahi oleh orang rumah saya, maka saya berpikir bahwa mereka membenci saya apabila saya menumpahkan air ke lantai sehingga saya tidak akan dibenci apabila saya tidak melakukan hal tersebut. Menurut saya pada saat itu saya dibenci karena saya menumpahkan air dengan sengaja, padahal sebenarnya saya dimarahi bukan karena saya dibenci tetapi untuk menghindari saya akan terpeleset apabila ada air di lantai. Saat itu saya belum mampu memikirkan hal tersebut. Itulah bukti bahwa pada usia tersebut periode perkembangan kognitif saya masih di tahap kedua.

Pada periode ketiga sangat jelas saya alami pada saat belajar matematika di bangku Sekolah Dasar. Guru menjelaskan mengenai bentuk-bentuk bangun datar dan bangun ruang. Saya dapat mengatakan bahwa bangun tersebut merupakan bentuk kubus pada saat guru menunjukkan contoh yaitu kotak kapur misalnya. Namun pada saat guru menjelaskan suatu bentuk dengan kata-kata dan buka berupa gambar atau benda, sulit bagi saya membayangkannya.

Masuk ke periode terakhir dari teori Piaget mulai berlangsung saat masa-masa pubertas dulu, saat pertama-tama mulai mengenal rasa suka terhadap lawan jenis. Secara jelas, rasa suka atau perasaan cinta tidak memiliki bentuk konkret yang dapat dilihat dengan jelas oleh mata kita. Namun, saya paham ketika tiba-tiba saya merasa deg-degan, malu, dsb di depan lawan jenis, maka hal tersebut dapat saya pahami dengan sendirinya dapat terjadi karena saya sedang menyukai orang tersebut atau sedang jatuh cinta.

Dari pengalaman dan teori yang terjabarkan di atas, dapat kita sadari bahwa sesungguhnya setiap individu akan mengalami periode-periode perkembangan kognitif tersebut. Begitu juga dengan saya. Apabila saya mengingat kembali masa-masa kecil saya hingga sekarang, saya dapat menyimpulkan bahwa saya dengan pasti telah melalui tiap periode-periode dari awal hingga periode ke empat, karena memang usia saya yang saat ini sudah mencapai 21 tahun (curhat -_-)

Referensi : Gtedler, Margaret E. (2011). Learning and instruction, teori dan aplikasi. Jakarta: Kencana





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer